Setelah menapaki ratusan anak tangga -yang saya tak sempat menghitung angka pastinya-, sejumlah lelaki berusia paruh baya menyambut dengan tawaran jasa lulur belerang. Di antara kami, hanya Pak Pranoto yang menyambut tawaran itu. Wajar saja, mungkin beliau perlu melemaskan otot kaki yang sedari kemarin dibuat tegang. Menginjak pedal gas, rem, dan kopling sepanjang Semarang-Temanggung-Wonosobo-Banyumas. Ditambah, berjalan menapaki ratusan undakan anak tangga tadi.
Pak Pranoto pun langsung duduk di dingklik kecil, dengan celana digulung hingga selutut. Seorang lelaki berpakaian lusuh dengan cekatan mengoleskan serbuk lulur belerang ke kedua betisnya. “Enak lho, ayo sini kalau mau coba,” ajak Pak Pranoto.
Saya hanya menggeleng, yang setelahnya terpaku pada sebuah pondok kecil. Bertembok dan beratap genteng. Sebuah papan kayu dibubuhi cat hitam yang menuliskan sebuah nama: Mbah Atas Angin. Nama aslikah itu? Atau hanya julukan yang tersemat?
Menarik. Ada sebuah petilasan yang berdampingan dengan Pancuran Pitu. Pasti ada kisah yang berkaitan di antaranya.
“Yang lainnya ke mana ya, Mas?” tanya saya kepada Mas Hery. Kami lagi bersantai sejenak sembari menyantap gorengan mendoan. Saya celingukan, ternyata rombongan yang lain sedang tak ada di tempat.
“Mungkin lagi ke bawah, lihat Gua Selirang.”
“Wah, di mana tuh tempatnya?”
“Itu ada jalan di belakang warung, mau ke sana?”
“Yuk!” kami langsung bergegas, meninggalkan Pak Pranoto yang sedang nyaman diterapi belerang untuk sejenak.
Kami menuruni anak tangga di samping kiri sebuah warung makanan-minuman. Belum jauh kami berjalan, saya nyeletuk, “Berhenti sebentar, Mas. Mau motret air terjun dulu.” Di sebelah kiri kami memang ada air terjun, berdebit cukup besar dan dingin. Tidak sealiran dengan air panas Pancuran Pitu.

Pancuran Pitu Baturraden: Air terjun mini
Ya, mumpung saya sedang membawa tripod dan filter lensa.
Tak jauh di bawah aliran, terdapat sebuah turbin kecil bermesin. Turbin tersebut membagi dan mengalirkan air untuk kebutuhan warga maupun pertanian. Air yang memberi kehidupan untuk kehidupan.

Pancuran Pitu Baturraden:
Kami terus menuruni jalan turunan berundak, yang mungkin saat musim penghujan lebih licin. Setelah satu tikungan, Goa Selirang di depan mata. Dinding tebingnya seperti ‘botak’, berlumur kandungan sulfur yang mengkilat, menyiratkan licin. Aliran air yang bersumber dari Pancuran Pitu, mengucur tempias mengikuti alur gravitasi bumi.
Saya dan Mas Hery berhati-hati menyusuri undakan tangga yang berpagar kayu sederhana. Mas Hery sempat melihat ke sungai di bawah, ke arah kiri dari tangga. “Ke mana mereka ya?” Saya juga bertanya. Mungkin Mas Ari dan yang lain sudah naik lagi ke Pancuran Pitu.
Kami pelan-pelan menaiki tangga yang cukup terjal ini. Napas memburu, tanda sudah lama tidak beraktivitas fisik. Bahkan Mas Ari bilang sendiri di akun Instagramnya, karena lama tidak naik turun tangga sebegitu banyaknya, lututnya pun nyut-nyutan dan bergetar. Apalagi saat itu sedang menggendong Bara. Tapi raut bahagia nampak menepiskan rasa nyut-nyutan itu.

Pancuran Pitu Baturraden:
Ditambah, setibanya di atas kembali, pemandangan yang sejuk sanggup melemaskan otot yang tegang. Terlihat kontras, bebatuan sulfur dengan hijaunya perbukitan.
Ternyata benar, Mas Ari dan yang lain sudah kembali ke warung. Menyantap mendoan dan bersantai sejenak. Kami menghampiri mereka.
* * *
“Mbah Atas Angin itu siapa, Bu?” tanya saya kepada seorang Ibu pemilik warung.
“Itu julukannya Syekh Maulana Maghribi, Mas.”
“Oh, yang menemukan dan merintis tempat ini kah?”
“Bukan, ya dulu penyebar agama Islam dan pernah bermukim di sini. Beliau ada di mana-mana, sering tinggal lama di suatu tempat, terus keliling lagi.”
Penjelasannya mulai terang, tapi masih samar. Saya mencari literatur, ada banyak versi tentang seorang ulama yang berasal dari jazirah Arab ini. Makamnya yang asli pun samar, karena kegemarannya berpindah-pindah untuk berdakwah.
Jika merunut pada sejarah Babad Kerajaan Demak, ia dikabarkan sempat bersyiar hingga Jawa Timur dan dimakamkan di Gresik. Pikiran saya merujuk pada Sunan Gresik, atau lebih populer disebut Syekh Maulana Malik Ibrahim. Kadang ia disebut Syekh Maghribi saja.
Tapi, ada yang bilang dan diyakini makamnya di Cirebon. Karena merupakan salah seorang anggota tertua Wali Songo. Sementara selama ini yang diyakini makamnya adalah di Gresik. Di Tegal juga berwujud pusara Syekh Maulana Maghribi atau dikenal dengan nama Mbah Panggung. Kalau di Pancuran Pitu ini, hanyalah petilasannya yang dikeramatkan. Inikah karomahnya? Seperti makam Sunan Bonang yang seolah jenazahnya dibelah dua: satu di Tuban dan satu lagi di Bawean, Gresik. Kedua masyarakat setempat sama-sama meyakini, karena sama-sama memegang jasadnya yang terbungkus kain kafan saat Sunan bonang wafat.

Pancuran Pitu Baturraden:
Tapi, pada intinya dikisahkan kalau Syekh Maulana Maghribi datang ke Pancuran Pitu saat itu untuk mengobati penyakit gatal-gatalnya. Sumber air panas di Gunung Gora yang disebut muncul dalam ilham yang diperoleh beliau. Pancuran Pitu pun mendapat namanya dari sang ulama. Dan julukan Mbah Atas Angin oleh masyarakat melekat padanya karena ia datang dari negeri yang jauh.
Dengan basuhan air panas, penyakit gatal-gatal yang diderita sang waliyullah pun sirna. Hal ini merupakan manfaat dari kandungan belerang di dalamnya yang bisa menjadi obat. Hingga sekarang, keberadaan Pancuran Pitu bukan hanya sebagai saksi legenda setempat, melainkan sebagai media yang memberikan manfaat. Tidak hanya untuk kesehatan, tetapi juga untuk sosial dan perekonomian setempat. Memberikan kehidupan untuk kehidupan.
* * *

Pancuran Pitu Baturraden:
Siang itu, Gunung Slamet masih belum mau menampakkan diri. Mendung kelabu menutupi sosoknya yang saya rindukan. Hanya menitipkan jejak-jejaknya berupa udara Kebun Raya Baturraden yang segar dan bersih.
Pak Pranoto membuka jendela mobil, mematikan pendingin udara dan membiarkan angin khas pegunungan masuk. Saya menghirup dalam-dalam, dan mengembuskannya kembali.
Embusan napas yang lega beriring doa kepada pepohonan pinus hijau yang menjulang itu. Tetaplah hidup, tetaplah terjaga.
Foto sampul:
Pancuran Pitu, Baturraden
Aaakkk aku belom pernah ke siniii. Huhu
SukaSuka
Deket kok Mbak, engg ditinggal tidur aja biar tahu-tahu nyampe 😀
SukaSuka
Beberapa spot kayaknya pernah aku baca di blognya Mbak Yukiangia, tapi di sini aku baca dengan topik yang sedikit beda. Ada nuansa religinya, mas 😀
SukaSuka
Iya saya dulu sempat baca tulisan beliau. Sepertinya lewat jalan lain yang mungkin lebih seru daripada lewat jalan umum. Soal topiknya, saya memang langsung tertarik ketika ada petilasan di sana. Pasti ada cerita lokal yang berkaitan dengan tempat tersebut 🙂
SukaSuka
suwe ora manjat ngonoh
SukaSuka
Apik gawe kesehatan Mas, ben bugar 😀
SukaSuka
Wisatanya bagus juga mas. Ini saya sering denger si dari temen. Ternyata seperti ini wajahnya.
SukaSuka
Sejauh yang saya lihat cukup terkelola, semoga tetap terjaga seterusnya 🙂
SukaSuka
Pancuran pitu itu tercampur dengan belerang ya mas ? kelihatan dari foto kok warnanya begitu kental.
Apa dengan warna kuning pekat tersebut ya yang membuat semakin ampuh untuk pengobatannya. #piss
SukaSuka
Iya, ada kandungan belerangnya. Kalau soal itu saya kurang paham hehehe.
SukaSuka
ya ampun batu raden… saya jaman smp pernah karya wisata ke sini 😀 , masih jaman kamera analog…. sempet mandi juga kayaknya
SukaSuka
Wah, berarti SMP dulu apakah masih belum merantau ke SUmatra Mas? 🙂
SukaSuka
Waaaah baru dengeeer, cakep banget yaa qy :’)
SukaSuka
Cakep Mbak, membayangkan dulunya tentu lebih cakep dari sekarang 🙂
SukaSuka
sudut pengambilan gambarnya bagus kak, pakai kamera apa itu ya ?
btw, tercampur dengan belerang ya kak itu air hangatnya ? 😉
SukaSuka
Terima kasih, hanya pakai DSLR Canon 600D dan lensa kit standar saja kok 🙂
Iya, masih ada kandungan belerangnya. Tak bisa diminum, tapi bisa digunakan sebagai obat terapi 🙂
SukaSuka
pengen nyobain terapi belerangnxa,piye rasane yak 🙂
SukaSuka
Kata Pak Pranoto, enak, kerasa enteng gitu 🙂
SukaSuka
lama ga main ke batturaden..
kangen juga berendam kaki di pancuran pitu 😀
SukaSuka
Hahaha, saya kemarin cuma ngerasain pake tangan aja 😀
SukaSuka
Saya baru tau tempat ini..
Pancurannya mistik-misitik gitu kelihatannya.
SukaSuka
Bagi sebagian orang mungkin mistik hehe. Tapi sebenarnya tidak juga kok Mas 🙂
SukaSuka
Semoga suatu saat nanti saya bisa mandi juga di pancuran pitu itu, 🙂
SukaSuka
Saya juga, semoga 😀
SukaSuka
mirip kayak di tinggi raja yah
SukaSuka
Wah Tinggi Raja di mana ya Mbak? Hehe
SukaSuka
Seperti makam Sunan Bonang yang seolah jenazahnya dibelah dua: satu di Tuban dan satu lagi di Bawean, Gresik. <- Nah lho.. Di Lasem juga ada makam Sunan Bonang
SukaSuka
Kalau di Lasem setahu saya bukannya pelinggihannya ya Mas? Semacam bekas jejak kaki Sunan Bonang?
SukaSuka
Kok aku nggak mengenali Batu Raden yang aku kenal jaman SMA dulu ya, Qy? Dulu tempat ini salah satu tempat yang aku kagumi jaman masih di Pekalongan. Bangga aja bisa sampai di sini. Tapi ternyata masih banyak sisi lain yang belum aku jelajahi di sini dan lebih dari yang aku bayangkan selama ini. Berarti harus kembali ke sini dan menapak jejak lain.
SukaSuka
Saya juga mengira begitu Mbak, tapi ternyaya Baturraden bukan hanya lokawisata. Dan sehari eksplor nyatanya tak cukup 🙂
SukaSuka
mudah-mudahan suatu saat punya kesempatan maen ke batu raden 🙂
SukaSuka
Amiin, semoga yaa 🙂
SukaSuka
baru tau di jateng ada tempet ketje begini, kapan2 kesini ah…
jgn lupa mampir ke blog alay aku ya kak di http://www.travellingaddict.com
SukaSuka
Banyak banget tempat keren di Jateng kok 🙂
Ah, saya juga alay hahaha 😀
SukaSuka
Kok pancuran pitu nya coklat gitu yaaaa, itu endapan tanah kah ???
SukaSuka
Itu memang mengandung belerang Mas, sulfur. DItambah sedimentasi tanah, jadi berwarna coklat. Dan panas 😀
SukaSuka
banyak spot alam yang menarik ya …
apalagi tambah bumbu religi sama mistisnya …
SukaSuka
Itu saya anggap suatu keunikan, kearifan lokal Mas 🙂
SukaSuka