Siang itu, jelang waktu Asar, mikrobus biru berkapasitas 14 penumpang ini berhenti di seberang sebuah penginapan tak jauh dari Pelabuhan Aimere, Kabupaten Ngada. Mikrobus dan gerbang penginapan tersebut dipisahkan jalan nasional Trans Flores.
Sim, sopir travel Gunung Mas itu, turun dan bergegas membukakan pintu samping paling belakang mikrobus bercat biru ini. Saya yang duduk di deret kursi belakang sopir ikut menoleh ke belakang, melihat siapa yang turun.
Satu orang saja yang turun, seorang pria yang sudah sepuh. Dia ikut naik bersama rombongan keluarganya dari kota Ende. Dia turun di Aimere, yang lain akan turun di Ruteng.
Kakek itu turun dengan meninggalkan jejak. Jejak muntah yang mengering kecoklatan di dinding pintu. Jejak yang menjadi saksi ‘keganasan’ Trans Flores.
* * *

Berhenti sebentar setelah 15 menit perjalanan dari Maumere. Ada penumpang yang tertinggal.
Nada dering ponsel model lawas (batang) terdengar nyaring di atas dasbor. Sim, sopir yang sudah 3 tahun bekerja di Gunung Mas itu mengangkat teleponnya. Yang meneleponnya seorang karyawan dari kantor agen Gunung Mas di Maumere. Ada satu lagi penumpang yang tertinggal. “Lah, siapa suruh tadi jemput cepat-cepat, hah?” Sim tertawa, lalu menepikan mikrobus yang kami tumpangi.
Sim mematikan mesin. Kami semua memilih turun dan menghirup udara yang sejuk di tempat kami berhenti.
Kami memang berangkat 30 menit lebih cepat dari jadwal yang seharusnya pukul 07.00 dari kantor agen. Saya dan teman diminta sudah siap pukul 06.30 dan akan dijemput terakhir. Tapi pukul 06.00 kami sudah dijemput di rumah dr. Nur di dekat GOR Samador, host yang kami tumpangi selama dua malam di Maumere. Cuma ada tiga penumpang yang berangkat, kata sopir penjemput berkaus tanpa lengan itu.
Dan di sini, di tepi perkampungan yang sunyi di lepas kota Maumere ke arah Ende, kami menunggu. Sim baru mengemudi 15 menit dari kantor agen. Sim mengambil alih kemudi dari sopir penjemput, yang memang tugasnya hanya menjemput dan mengumpulkan penumpang di kantor agen tersebut.
“Mau ke Wae Rebo, ya?” tanya seorang bapak berkaus merah bertuliskan Flores, Pulau 1000 Gereja. Dia penumpang yang duduk di samping Sim. Kamilah ketiga penumpang yang akan berangkat ke Ruteng. Bapak itu tampaknya paham ke mana kami akan pergi, setelah melihat dua tas keril yang kami bawa. Kami hanya mengangguk dan tersenyum.
Sepuluh menit kemudian, penumpang yang terakhir dari Maumere akhirnya datang. Dia diantar dengan mobil oleh kerabatnya. Sejatinya dia tidak bisa dibilang ketinggalan, karena dia beli tiket langsung di kantor agen Maumere sebelum pukul 07.00. Kami saja yang berangkat terlalu awal.
Kini penumpang genap menjadi empat. Si bapak yang duduk di depan berkelakar, “Kita kayak darmawisata saja, sewa mobil gede ini isinya cuma empat orang.”
Gunung Mas seperti menjadi satu-satunya pilihan transportasi untuk trayek Maumere-Ruteng di hari Minggu, hari di mana agen jasa perjalanan lainnya malah libur. Sepertinya etos kerja khas Tiongkok, garis darah pemilik Gunung Mas ini, menular ke seluruh lini usahanya, seakan tak mengenal kata libur dan istirahat.
* * *

Jalan Trans Flores dengan banyak titik rawan longsor membuat kita harus berhati-hati dan banyak berdoa saat melewatinya
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le’le luk ele rebin ha
Do do do do mi do mi do gemu fa mi re…
Lagu Gemu Fa Mi Re yang didendangkan Alfred Gare begitu rancak dan menghentak seisi mobil. Alunan nada lagu ciptaan Nyong Franco itu seakan berirama dengan liukan laju mikrobus yang sedang melintasi Trans Flores di wilayah perbatasan Kabupaten Sikka-Ende.
Lagu-lagu pilihan Sim disimpan dalam sebuah flahsdisk miliknya. Selera sopir yang juga bertugas saat gelaran Tour de Flores 2016 itu cukup bagus. Selain lagu khas Flores yang menggoda tubuh bergoyang, lagu-lagu modern macam tembang Tetap Dalam Jiwa-nya Isyana Sarasvati hingga Locked Away-nya Adam Levine dan R. City menghiasi pemutar lagunya. Bahkan lagu lawas macam 25 minutes dari Michael Learns To Rock juga ikut serta.
Tapi saya merasa bersyukur Sim memiliki koleksi lagu yang cukup lengkap, meskipun tentu diputar berulang-ulang sepanjang perjalanan Maumere-Ruteng. Setidaknya menghibur dan mencegah saya dari ancaman mabuk darat. Teman saya yang mulai mengeluh pusing bahkan memilih tidur. Saya pun juga menahan diri tidak mendengarkan lagu dari gawai saya, untuk menghemat daya.
Yang harus disyukuri lagi, saya tetap dalam keadaan sadar. Bahkan saya nyaris terjaga sepanjang perjalanan. Perjalanan Maumere-Ruteng ini adalah kesempatan terbaik untuk menikmati panorama dan keunikan-keunikan yang melekat di jalan Trans Flores yang legendaris ini.

Pemandangan berupa sawah adalah salah satu yang akan banyak ditemui saat melintas di Trans Flores. Melihat pemandangan seperti ini akan menghibur dan sedikit mengobati mabuk darat.
“Jalannya kayak begini terus, ya, Mbak?” tanya saya pada penumpang perempuan yang duduk di sebelah saya. Dia baru saja memuntahkan isi perutnya ke dalam tiga kantung plastik hitam. Saya memberinya botol berisi air mineral yang saya bawa.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum meringis. Mungkin dalam hatinya, dia berharap agar saya tidak mengalami hal yang serupa dengannya. Mabuk darat adalah efek samping saat melintasi jalan nasional yang membentang sepanjang kurang lebih 660 km itu.
Trans Flores yang bermula dan berakhir di Labuan Bajo (Manggarai Barat) dan Larantuka (Flores Timur) itu seperti bersusah payah bertahan di tengah gempuran peristiwa alam. Tanah longsor adalah hal yang paling mengancam jalan nasional berusia 91 tahun bikinan kolonial Belanda itu.
Saya saja bergidik ketika kami melewati tanjakan dan tikungan tajam saat memasuki wilayah Kabupaten Ende menuju Moni, desa yang menjadi titik mula ke Taman Nasional Kelimutu. Sebagian besar badan jalan bersandar pada tebing yang tampak ringkih dan siap menggugurkan batuan berbagai macam ukuran kapan saja.
Tak heran sistem buka-tutup kerap diperlakukan ketika terjadi guguran batu dan tanah longsor memutus jalan. Saat musim penghujan, tentu harus lebih waspada lagi.
Pemandangan sepanjang perjalanan di lintas Trans Flores memang indah. Memanjakan mata. Tapi, keindahannya dan kemulusan aspalnya bisa melenakan; jika tak siap dengan tikungan tajam berkelok bak grafis elektrokardiograf pengukur denyut jantung itu
Jalan yang lurus dan datar adalah sebuah bonus dan kemewahan di Trans Flores. Selebihnya adalah tentang bergoyang tanpa henti. Belum selesai menstabilkan tubuh setelah tikungan ke kiri, datang langsung tikungan ke kanan. Seakan selaras dengan potongan lagu Gemu Fa Mi Re: Putar ke kiri e… Nona manis putarlah ke kiri… Sekarang kanan e… Nona manis putarlah ke kanan… Mungkin kata ‘nona’ bisa juga diganti dengan kata ‘penumpang’ dalam konteks ini.
Tapi, setidaknya kita tetap harus berterima kasih kepada para kolonial yang telah membangun Trans Flores, walau tentu bercampur dengan cucuran keringat, darah, dan nestapa pribumi. Dengan jalan ini, nadi perekonomian dapat tersambung, walau belum sepenuhnya menyeluruh.
* * *

Tak hanya mangga, buah jeruk juga sedang mahal. Harganya mencapai 20 ribu rupiah untuk 4-5 buah jeruk.
“Permisi, Mama, saya izin mau ke kamar mandi,” pinta saya kepada seorang ibu yang sedang bersantai di depan rumahnya yang sederhana. Letaknya lebih rendah dari permukaan jalan Trans Flores sebelum memasuki Aimere. Yang jelas, Gunung Inerie yang lancip, yang memaku Desa Bena di kabupaten Ngada itu sudah hilang dari pandangan, tertutup bukit-bukit.
“Oh, silakan! Silakan!” Ia tampak bersemangat dan menyuruh anak perempuannya untuk menunjukkan saya kamar mandi di dalam rumahnya. Kamar mandinya sangat sederhana. Di pojokan belakang pintu, pakaian bertumpuk menunggu dicuci. Ember berukuran besar berjejer menampung air. Tak ada bak mandi di sini.
Keluar dari rumah, sang ibu sempat menanyakan tujuan saya. “Ke Ruteng, Ma,” jawab saya. “Dari Maumere, kah?” Tanyanya lagi. Saya mengangguk dan tersenyum lebar.
Sambil menunjuk ke tumpukan mangga yang dijual di depan warung di tepi jalan itu, saya balik bertanya padanya, “Lagi musim manggakah?” Dia menggeleng. Katanya, saat musim mangga biasanya harganya berkisar 10 ribu rupiah per lima buah. “Sekarang 20 ribu cuma dapat lima buah. Mahal,” katanya sambil menggeleng.
Saya kembali naik ke tepi jalan. Kami memang sedang istirahat sejenak di sini. Karena, sebagian besar penumpang minta berhenti untuk beli buah mangga. Saya hanya membeli satu botol air mineral 1,5 liter bertuliskan ‘Ruteng’.
Kemudian saya mendekati Sim, sang sopir yang sudah mengantar kami menempuh dua pertiga perjalanan. Dia sedang berjongkok di depan warung. Dia asyik melahap gorengan, sementara penumpang lain sibuk memilih buah mangga untuk dibawa pulang.
“Berapa?” tanyanya sambil melirik ke arah botol air mineral yang saya beli. Saya menunjukkan kedua telapak tangan saya kepadanya. Menampakkan kesepuluh jari saya. Sim hanya tersenyum sinis, “Mahal.”
Usai gorengannya tandas, Sim berkata kepada saya, “Eh, bro, boleh lihat hp–mu lagi?” Saya mengangguk, dan menyerahkan gawai buatan Taiwan milik saya ke Sim. “Berapa ini dulu kau beli?” Saya sedikit mengingat, karena saya membelinya sudah dua tahun yang lalu. “Harga barunya dulu sekitar 1,5 juta. Kalau sekarang paling turun jadi 900 ribuan,” kata saya.
Sim membolak-balikkan gawai saya, memencet-mencet layar sentuhnya. “Ini sudah ada Google?” (Sim mengucapkan kata ‘Google’ dengan ejaan ‘gogel’; dengan huruf ‘o’ tunggal dan huruf ‘e’ dibaca seperti ‘e’ pada kata sate). “Sudah, Om, sistem operasinya kan Android, bikinan Google, hehehe,” jawab saya.
Sim mengangguk-angguk, lalu bertanya lagi, “Ini pesbuk juga sudah ada? sama wasap juga sudah ada?” Saya nyaris tertawa, lalu menjawab lagi, “Kalau itu harus download dulu, Om.”
Dari gerak-geriknya, tersirat kalau memang dia benar-benar membutuhkan ponsel baru. Gawai yang bisa membawanya berkelana di dunia maya. “Di toko konter di Maumere katanya ada tiga merek yang bagus, tapi saya bingung. Yaudah, berangkat lagi, yuk!” ajaknya.
Satu per satu penumpang sepertinya sudah puas dengan buah mangga yang dibeli dan kembali ke mobil. Sim mengecek ulang penumpangnya, lalu kembali ke balik kemudi. Untuk sementara Sim harus melupakan sejenak keinginannya membeli ponsel baru. Sim harus fokus ke jalan di hadapannya. Kelihaiannya mengemudi kembali melajukan mikrobus ini meliuk Trans Flores dengan mulus.
* * *

Meninggalkan Borong, dan ‘melahap’ sisa 56 km lagi menuju kota Ruteng, kabupaten Manggarai
“Kiri!”
Mendengar suara dari belakang, Sim dengan sigap menginjak rem, menepi, dan menghentikan kendaraan di sebuah tempat semacam pasar di daerah Borong, ibukota kabupaten Manggarai Timur.
Seorang penumpang yang duduk di baris kursi paling belakang kemudian mengeluarkan bingkisan paket dari dalam tasnya. Ia tergesa menelepon seseorang dari dalam mobil. Obrolan yang terlintas diucapkan dalam bahasa Manggarai.
Tak lama, seorang pria paruh baya mendekati jendela mikrobus bagian kanan belakang. Mendekati penumpang yang menelepon tadi. Dari luar dia menerima paket itu. Setelah bercakap-cakap sebentar, kemudian si penerima paket dengan lantang berteriak ke Sim. Seakan tahu dari mana Sim berasal, si penerima paket itu menyampaikan semacam ungkapan serapan terima kasih dalam bahasa Nagekeo, “Modo, sama ke!”
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Sekilas saya sempat melihat patok kilometer di tepi jalan tak jauh dari tempat kami berhenti tadi. Ruteng (berkode RTG) ‘tinggal’ berjarak 56 kilometer lagi dari Borong.
* * *

Warung bakso milik orang Bandung di dekat pusat kota Ruteng, tak jauh dari hotel Rima tempat saya menginap
Jalan raya relatif datar selepas tanjakan penuh tikungan di kawasan Taman Wisata Alam Ruteng, yang ‘menyembunyikan’ Danau Ranamese di balik pagar tembok.
Sekitar pukul 17.30, tepat azan Magrib berkumandang di langit kota Ruteng yang mulai gelap. Sim menghentikan mikrobusnya tepat di depan tangga masuk lobi hotel Rima, tempat saya dan teman seperjalanan akan menginap satu malam.
Saya pun langsung meregangkan tubuh seturunnya dari mobil. Rasanya bagaikan terbangun dari tidur yang salah posisi, dan (maaf) pantat yang hanya berisi tulang ini juga terasa menipis.
Sim membantu saya menurunkan tas keril kami yang beratnya hampir 25 kg untuk dua tas. Sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir, kantor pusat Gunung Mas di kota Ruteng, Sim masih sempat bertanya kepada saya, “Jadi bagaimana, Bro? Enaknya beli hp yang merek apa ya?”
Saya tertawa, “Berapa nomor hp–nya Om? Nanti saya SMS, saya bantu kasih info buat pilih-pilih.” Sim ikut tertawa dan menjabat erat tangan saya. Kami berpisah.
Secepat kilat, punggung mikrobus travel Gunung Mas semakin menjauh dan knalpotnya meninggalkan asap-asap tipis di udara yang suhunya kian merendah. Tiba-tiba perut saya kembali merengek. Seharian ini perut baru sekali diisi makanan, yaitu masakan Padang saat istirahat di Ende 7 jam yang lalu.
Saya tadi sepintas melihat spanduk penanda keberadaan sebuah warung bakso tak jauh sebelum hotel. Kami sepertinya harus makan bakso untuk menghangatkan tubuh. Sehangat pertemuan-pertemuan yang saya alami sepanjang perjalanan sejauh 420 km ini. (*)
Foto sampul:
Saya dan mikrobus Gunung Mas trayek Maumere-Ruteng saat istirahat makan di sebuah rumah makan masakan Padang di kota Ende (dipotret oleh teman saya, Mory)
pelangi indonesia bener, postingan blognya penuh warna..itu anak2 naik pickup ampe penuh gitu mas
SukaDisukai oleh 1 orang
Amin, Mas, hehehe. Iyaah, sudah biasa kayak begitu hahaha.
SukaSuka
Yang baca ikut capek ketika membayangkan perjalanan seperti itu. Pantes teman-temanku yang orang Manggarai, Ende, Adonara selalu bercerita kalau perjalanan di sana memakan banyak waktu.
SukaDisukai oleh 1 orang
Flores termasuk yang beruntung dibikinkan jalan untuk kali pertama oleh kolonial Belanda. Ketika hendak membangun jalan di Adonara, Lembata, Solor, tak selesai karena kekurangan biaya. Karenanya, jalan2 di sana masih banyak yang rusak dan belum tersentuh perbaikan seutuhnya.
SukaSuka
masalah pariwisata di timur ya mas… selalu itu2 saja “akses” -_-
btw lagu2nya memang asyik di dengar..saya paling suka joget dgn lagu2 timur, flores.. enak di dengar..
Maumere da gale kota Ende
Pepin gisong gasong
Le’le luk ele rebin ha
Do do do do mi do mi do gemu fa mi re
SukaDisukai oleh 1 orang
Iyaaa mbak, bikin semangat dan sabar melintasi Trans Flores 😀
SukaSuka
masalah di timur selalu sama “akses”
tetapi disitulah letak tantangannya mas, ketika kalau ke jawa dgn modal gps dan info google semua bisa jalan.. lha kalau kesana.. semua yang ada di gps dan info google bisa berubah… 😀
selamat menikmati perjalanan ke timur mas 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya Mbak, pakai GPS yang real, Gunakan Penduduk Sekitar hahaha. Sip, Sumbawa belum seutuhnya nih saya hehehehe #Kode
SukaSuka
saya jadi punya gambaran bagaimana kondisi jalur trans flores ini. oiya, btw, gunung mas ini konon satu-satunya yg melayani trayek trans flores kah, atau ada yang lain?
SukaDisukai oleh 1 orang
Demikianlah, sebenarnya ada banyak detail lagi tentang Trans Flores, tapi saya potong karena kepanjangan nanti tulisannya haha. Tidak, ada lagi semacam Manggarai Indah, dan beberapa lagi. Tapi di hari Minggu, sepertinya cuma Gunung Mas yang tetap beroperasi, lainnya libur.
SukaSuka
pantes ya gak ada bus besar di jalur trans flores ini. berbeda dengan sumbawa yang sepertinya masih dilewati bus besar
SukaSuka
Bisa sih, truk-truk besar saja kayak Pertamina sama truk ekspedisi banyak yang lewat Mas, cuma mungkin mending naik bus kecil atau travel aja hahaha
SukaSuka
nggak perlu jauh-jauh, di daerah sendiri jalan dan akses juga lumayan menyita waktu apalagi transportasi umumnya hehehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya Mas, tapi separah-parahnya jalan di Jawa, harus tetap disyukuri, kita beruntung…
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya jg sih…tapi aku merasa kok Banjarnegara identik dgn jalan rusaknya 😅
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha, coba kalau ada waktu pergilah ke daerah-daerah timur. Saya yang sering pulang kampung ke Pacitan dan sering nemui jalan rusak saja harus lebih bersyukur lagi karena di timur bisa jauh lebih parah 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Ya….mmg bgmanapun jg di p.jawa masih mending…
SukaDisukai oleh 1 orang
Betullll hehehe
SukaDisukai oleh 1 orang
komen lagi…serasa sedang membaca buku-bukunya Agustinus Wibowo hehehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha, duh, Om Agustinus mah sudah jauh kelasnya, saya masih butiran debu Mas 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Aku suka kok dgn cara berceritamu itu…inspiratif
SukaSuka
Amin, terima kasih semangatnya Mas Hendi 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
sukaa dengan alur berceritanya, jadi serasa ikutan perjalanannya juga. ehehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih, tapi gak sampai ikutan muntah karena mabuk kan? Hehehe
SukaSuka
ga kook 😀 😀
SukaSuka
kangen flores . Dulu berniat jelajah flores dengan kendaraan umum seperti ini tapi akhirnya memilih piknik cantik karena beberapa teman trip ibu-ibu.
Semoga ada kesemapatan ke flores lagi
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya sudah baca catatan perjalanan Mas Danan soal NTT yang banyak bagian-bagian itu, dibukukan saja Mas 🙂
Semoga rindunya segera terjawab yaa 🙂
SukaSuka
Wah belum lah kalau buku . Amin … Amin… Semoga rindu terbalas
SukaDisukai oleh 1 orang
Amin 99x 🙂
SukaSuka
Wuih, NTT! Jalan-jalan di NTT ini adalah jalan yang sangat kaya ya Mas. Semua cerita perjalanan yang saya baca, ketika sudah masuk ke NTT, pasti menunjukkan kekayaan yang tanpa batas dari jalan-jalan itu. Di sini saya membaca belajar dari alam, dari masyarakat, tentang hidup di jalan namun penuh kekeluargaan, tidak terasing dan saling mengasingkan diri. Saya setuju dengan komentar Mas Hendi, dan harus saya tambahkan, sepertinya dirimu harus bikin buku untuk mendokumentasikan dan menyebarkan pelajaran hidup yang kamu dapat, Mas, hehe.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hehe, iya Mas. NTT adalah kekayaan tanpa batas yang dibatasi keterbatasan #apasih hehe. Maksud saya, memang kaya, tapi karena keterbatasan, masih belum tampak total kekayaan itu 🙂
Ah, perjalanan masih panjang, sama-sama mendoakan saja ya supaya bisa sama-sama menghasilkan karya terbaik masing-masing 🙂
SukaSuka
Setuju, Mas. Mudah-mudahan suatu hari nanti saya juga bisa jelajah NTT, hehe. Mupeng nih baca tulisanmu, hoho.
SukaSuka
Amin… Hehehe, disegerakanlah #eh 😀
SukaSuka
Apanya nih yang disegerakan Mas? Haha.
SukaSuka
10 jari itu maksudnya seboyol air 10.000 ya? Sama kaya harga 5 mangga kalo lagi musim? Haha. Itu mangganya murah banget ya 😃
Asik ceritanya, Mas! Sangat humanis. Cerita perjalanan yang meletihkan nampak menenangkan.
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul! Sepuluhewu! Hahaha. Murah Mas, demikianlah infonya, 😀
Terima kasih Mas 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
entah kenapa aku suka buka blog ini, krna bacanya ikut hanyut kadang sampai baper #eh.
SukaSuka
Baper tidak dilarang Mbak haha, matursuwun ya Mbak, doakan konsisten 🙂
SukaSuka
Qy, kusuka penuturannya! Foto-fotonya juga bercerita 🙂
Btw volume musik selama perjalanan gimana, menggelegar gak? Aku belum pernah overland Flores, faktor resiko mabok darat besar banget soalnya, hahaha!
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih Mas 🙂
Menggelegar! Tapi menyesuaikan, kalau sopirnya tahu ada penumpang yang lagi telpon, atau lagi banyak yang istirahat dia kecilin volumenya hahaha. Latihan dulu aja mas di jalan lintas Pacitan-Jogja, atau Dieng, biar gak mabuk darat di Flores 😀
SukaSuka
saya tau Dr.Nur. hahaha. sehat2 selalu yaa bro..
SukaSuka
Hehehe, dulu awal pertama kenal dari mana Mbak? Siap Mbak, Anda juga hehehe 🙂
SukaSuka
Senang orang di sana ramah-ramah ya. Numpang ke toilet itu hal sederhana, tapi percayalah nggak semua orang mau kasih izin loh 🙂
Qy bikin buku Qy. Lama-lama Indonesia khatam dan bisa bikin buku kayak Meraba Indonesia itu.
SukaSuka
Iya memang, tapi prinsip dasarnya sederhana: Sopanlah, maka akan berbalas 🙂
Doakan saja Om supaya terealisasikan 🙂
SukaSuka
keren postingannya.
rasanya jadi ikut terhanyut gitu.
SukaSuka
Terima kasih Mas 🙂
SukaSuka
Agennya kocak juga ya, udah berangkat baru nanggep lagi penumpang baru. Kok nggak dimasukan ke trip berikutnya ya? Berarti kalo gitu harus siap2 nggak jelas ya. Oya, itu kontur tanah yang bikin mabuk ya? Atau gaya sopirnya yang bawa mobil bikin mabuk nih? Tapi aku jadi penasaran pengen jelajah juga Ruteng, Flores. Salam kenal ya mas, dari Pekanbaru
SukaSuka
Hahaha, sopir penjemputnya terlalu terburu-buru menjemput. Untuk rute Maumere-Ruteng dan sebaliknya, hanya ada satu kali dalam sehari, berangkatnya pukul 07.00 🙂
Memang topografi Flores cenderung dominan berbukit-bukit, jadi jelas pembuatan jalannya mengikuti lekukan alam haha. Kalau sopirnya sangat lihat, halus nyetirnya. Lancar, cepat, tapi tidak ngawur.
Salam kenal Mbak 🙂
SukaSuka
Penumpang yang muntah-muntah itu kayak pengalamanku dulu mas, jalan ke Sibolga, yang berliku-liku di Sumatera sana. Nggak kuat banget, ampe 3 kali.
Aku suka banget dengar aksen orang Timur, karena hampir mirip kayak aksen orang Batak…bisa aku bayangkan si mas ya nanya “ini udah ada google?”
SukaSuka
Nah, sepertinya saya harus menguji diri ke liku-liku jalanan Sumatra hehehe. Justru saya suka banget jalanan yang berkelak-kelok gitu, hahaha, aneh ya 😀
Iya, saya juga suka, menghibur banget buat saya 🙂
SukaSuka
Rifqy ngelayap terus nih, kapan nih ajakin kita? mau dong…
SukaSuka
Mari-mari 😀
SukaSuka
ceritanya asyik, serasa ikut merasakan perjalanan yang kamu lakukan Qy, aku ga bisa ngebayangin kalau harus jalan darat berjam-jam dengan rute jalan seperti itu. Dulu naik travel dari Sub ke Bwi pas long weekend & kejebak macet aja sudah kesiksa banget rasanya
SukaSuka
Terima kasih Mas, ya begitulah kondisinya hahaha. Wong Surabaya-Malang pas liburan aja sudah bikin stres 😀
SukaSuka
Kalau dapet warung bakso di daerah Timur itu kek dapat berlian, saya waktu ke Waisai aja ketemu warung pecel lele udah girang banget hahaha
SukaSuka
Hahaha, maklum udah sesuai seleranya hehehe.
SukaSuka
Kalau saya waktu jelajah Flores, lagu – lagu dari Mitha Talahatu yang menemani sepanjang perjalanan.
Seng bisa, jujur beta seng bisa,
hidup jauh, harus dekat deng ale
SukaSuka
Wah saya belum pernah dengar lagunya, kapan-kapan saya coba cari hehehe 🙂
SukaSuka
Aku penasaran sama lagu flores yang diputar 😀 . Kayaknya meski bukan tipe mabuk darat, kalau nyobain naik bis rute ini bakalan mabuk ya Haha *lidia
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha, browsing via youtube saja dulu 😀
Sering-sering ngobrol, konsumsi buah segar, dan menikmati pemandangan bisa jadi senjata ampuh kok. Haha
SukaSuka
Wahhh sepertinya seru sekali perjalanan darat disana..
kapan2 harus dijabanin nih kesananya..
SukaDisukai oleh 1 orang
Kalau Mbak Endah ke sana mah pasti bakal seru dan keren liputannya 🙂
SukaSuka
Perjalanan melintasi dataran Flores yang penuh gizi Mas Rifqy. Selain mendapat pemandangan indah juga cerita manusia di perjalanan. Bisa membayangkan penderitaan si bapak dan ibu yang mabuk darat itu. Pasti menyiksa banget untuk mereka ya 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya Bu Evi, tapi begitulah risiko pilihan perjalanan yang cukup ekonomis. Tapi setidaknya, jauh lebih nyaman daripada naik bus, hehe.
SukaSuka
Gemu Fa Mi Re , jadi inget lagu wajib buat senam minggu pagi di asrama dulu, 😀
Perjalanannya seru mas, yang jelas walau jalannya berkelok, tetap anti minum antimo ya mas 😀
Tahun depan sepertinya bisa kesampaian keinginan saya untuk menjejakkan langkah di NTT.
SukaDisukai oleh 1 orang
Antimo saya cuma air mineral dan menikmati perjalanan hahaha. Iya lagunya buat senam poco-poco juga cocok 😀
Waaaaah, ditunggu ceritanya, Mas! 🙂
SukaSuka
Medan perjalanannya berat yaa, banyak titik rawan longsor sehingga harus ekstra waspada saat membawa kendaraan
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya harus waspada 🙂
SukaSuka
Kalo gw ngak sanggup di sebelah orang muntah, pasti kejadian ikutan muntah
SukaDisukai oleh 1 orang
Hmmmm, amankan kancutnya #eh
SukaSuka
Baca ceritanya aja udah capek dan ngos-ngosan, apalagi ngalamin sendiri. Sama kayak Maz Cum, saya juga sering nggak kuat kalau orang di sebelah muntah, mending langsung menyingkir daripada ketularan ahahahaha.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha, berarti mending nyetir sendiri aja entah kendaraannya apa 😂
SukaSuka
wah perjalanan yang seru … kalau yang ga kuat naik kendaraan lama … bisa kacau .. hehehe .. bukan muntah lagi .. pingsan
SukaDisukai oleh 1 orang
Yasudah naik sepeda pancal aja kak, ikutan Tour de Flores tahun depan 😂
SukaSuka
jadi kebawa suasana setelah baca tulisan ini.
semoga bisa nyusul ke flores juga…menikmati 420Km dg jalan apa adanya 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Semoga bisa nyusul Mas, merasakan nikmatnya Trans Flores hehehe
SukaSuka
Serasa ikutan numpang didalam bis. Merasakan perjalanan yang cukup jauh dan kondisi jalan yang tidak rata. Menikmati percakapan kalian didalam bis, lucu juga yach si om Sim nya.
SukaSuka
Terima kasih Mbak, haha, iya lucu Omnya 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Belom pernah ke Flores. Ajak aku, Kak!!!!
SukaSuka
Ayoooo Mbak! 😀
SukaSuka
mengingatkan saya perjalanan naik motor ruteng-kelimutu,dan sebaliknya.. memang flores lukisan tangan Tuhan. luar biasa.. bikin kangen
SukaDisukai oleh 1 orang
Waaah saya juga impian banget touring motor lintas Flores. Memang betul, keindahan alamnya luar biasa 🙂
SukaSuka
Suka tulisan ini hahaha. Sayang ya tidak bertemu di Ende. Sudah rasakan ganasnya trans Flores, sudah keren hahahaha. Thats why saya selalu pakai Sepeda motor ke mana mana karena saya mabukan …
Btw sopirnya keren ya koleksi lagunya. Kalau dapat sopir lain… Mariam Belina dan Pance Pondaag from naik to turun. Qiqiqiqiqi.
SukaDisukai oleh 1 orang
Halo mbak Tuteh! Makasih ya sudah mampir di blog ini 😊
Aha iyaa, saat itu waktunya terbatas sekali. Semoga kapan-kapan kita bisa bersilaturahim ya mbak. Aamiin.
Ahaha, saya juga penasaran pengin motoran di Trans Flores yang ganas 😂
Iya, jadi saya masih bisa ngikutin nyanyi wkwk. Kalau Mariam Belina dan Pance Pondaag entahlah wkwk
SukaSuka