Pulang Bersama Ranaka

“Kalabahi, Pak. Dua orang. Ekonomi,” pinta saya kepada petugas di loket Pelabuhan Bolok, Kupang, Sabtu (22/10/2016). Saya menyodorkan dua lembar Rp 100 ribu dan selembar Rp 50 ribu. Melewati lubang setengah lingkaran pada kaca yang menyekat kami.

Petugas berseragam khas Dinas Perhubungan itu menyobek dua lembar kertas tiket. Sekaligus menyelipkan uang kembalian Rp 12 ribu. Jika sesuai jadwal yang tercantum di pelabuhan, kapal akan berangkat pukul 12.00 WITA. Perjalanan kali ini akan menjadi pelayaran terpanjang bagi saya. Durasi perjalanannya hampir tiga kali lipat dari penyeberangan Bali-Lombok.

Kemudian rintik hujan turun dan menderas tatkala saya dan seorang teman setengah berlari menuju dermaga. Di sana telah siaga Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Ranaka. Sesekali kami bergantian lajur dengan kendaraan-kendaraan yang bongkar muat.

Sebagian penumpang sudah “mengkaveling” tempat di geladak dasar beralas plat baja itu. Ngemper di atas tikar yang dibawa sendiri. Berdempetan dengan truk, mobil pikap, dan motor. Beberapa bersandar pada karung-karung isi hasil bumi.

Kami naik ke geladak utama. Mencari tempat duduk kelas ekonomi. “Terus saja ke belakang, adik! Ada kursi di sana!” seru seorang pedagang asongan mengarahkan. Kami berjalan perlahan di lorong geladak yang menjadi sempit, karena sebagian penumpang malah “mengkaveling” tempat. Menggelar tikar, menggunakannya untuk duduk dan tidur.

Ranaka2
Geladak kelas ekonomi. Tampak pintu di pojok yang merupakan ruang VIP

Kelas ekonomi berada satu lantai dengan kelas bisnis yang berkipas angin dan ruang VIP yang berpendingin udara (AC). Ada tujuh baris kursi tempel yang memanjang dan menghadap bar mini. Pantas saja beberapa penumpang memilih ngemper, karena kapasitas kursi di kelas ini terbatas. Kami segera duduk di dua kursi terdepan yang masih kosong dan merebahkan tas ransel di bawahnya.

Beberapa penumpang yang tidak kebagian tempat duduk dan tidak mau ngemper, mereka membayar biaya tambahan ke petugas kapal untuk masuk di kelas bisnis atau VIP. Tapi, kelas bisnis pun berasa lebih pengap karena banyak menumpuk penumpang dengan kasur bertingkat. Kasur paling atas langsung membentur plafon.

Sebelum berangkat, geladak utama bagaikan pasar. Pedagang asongan berseliweran. Menjajakan aneka dagangan. Buah apel, jeruk, salak, pisang, nasi bungkus, koran, minuman, makanan ringan, kacamata, tikar, tongkat narsis (tongsis) sampai pisau dapur.

Untuk sesaat, saya menemukan variasi dagangan daripada bar mini milik koperasi kapal yang hanya menjual teh, kopi, dan mi instan. Meski pada akhirnya tak satu pun yang saya beli. Kami sudah membawa bekal minum dan makanan dari Kupang.

Kapal berjenis roll on-roll off (Ro-Ro) ini baru benar-benar berangkat sejam lebih lambat dari jadwal. Bersamaan itu hujan mereda, dan tirai yang melindungi geladak dibuka kembali. Sepertinya kelas ekonomi yang kami tempati justru merupakan kelas paling spesial, karena langsung diembus angin laut. Walaupun, ya, juga diembus asap rokok yang mengganggu pernapasan.

* * *

Mama Ale dan Tonde
Mama Ale dan Tonde

“Namanya Tonde,” kata Ale tersenyum. Saya memanggilnya dengan sebutan Mama. Mama Ale dan Tonde duduk persis di sebelah saya.

Mama Ale sedang sibuk menenangkan anaknya yang baru berusia tujuh bulan itu. Tonde hanya menatap saya polos dan terdiam ketika saya menggodanya. Menggoyangkan kedua tangan mungilnya.

Ini adalah perjalanan jarak jauh pertama bagi keduanya ke Alor. “Mengunjungi keluarga,” kata Mama Ale. Kemudian ia beranjak dan menggendong Tonde yang sedang gelisah. Mengajaknya jalan-jalan di geladak kapal, memandangi Laut Sawu yang beriak tenang.

Sekitar empat jam pelayaran awal, masih terlihat daratan sisi utara Pulau Timor, khususnya Timor Barat. Pemandangannya terlihat di sisi kanan (arah barat) kapal.

Saya sempat berandai-andai apakah akan melewati wilayah pesisir Timor Leste seperti Pante Makasar, Nitibe, pesisir Lifau, atau Oecussi-Ambeno, yang di atasnya sudah berbatasan dengan Selat Ombar. Di peta, wilayah ini “dikepung” Kota Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, terpisah dengan wilayah utama Timor Leste di atas Atambua.

Tapi semuanya hanya terlihat seperti daratan tak berpenghuni. Sesunyi laut yang merupakan bagian dari jalur migrasi 14 jenis paus biru dan paus sperma, serta tujuh jenis penyu laut tersebut. Kami berlayar di atas segitiga terumbu karang seluas 3,5 juta hektare di wilayah administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pemandangan Laut Sawu kian temaram seiring pungkasnya petang yang kelabu. Sepuluh lampu neon di geladak ekonomi dihidupkan. Perjalanan masih panjang.

* * *

Ranaka1
Tampak televisi yang dimatikan karena sudah larut malam

Saya baru menyadari arti nama yang dipakai kapal ini sepulang dari Alor. Seperti halnya kapal-kapal lainnya di nusantara, kapal penyeberangan ini juga memakai nama gunung. Rasanya seperti berada di puncak gunung yang berlayar di lautan.

Ranaka adalah salah satu puncak di antara barisan tujuh gunung, yang berada dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng, Flores. Dengan ketinggian sekitar 2.140 meter dari permukaan laut (mdpl), menjadikannya puncak tertinggi kedua setelah Poco (gunung) Mandosawu (2.4000 mdpl) di kawasan tersebut.

Ranaka yang artinya tempat pemandian gagak ini (‘rana’=danau, ‘ka’=gagak) juga disebut dalam bait lagu populer daerah Manggarai. Veronika Kurnyangsi dalam blognya (molaskumba.blogspot.co.id) menjelaskan, lebih dari satu dasawarsa lalu “Gunung Ranaka” menjadi lagu wajib pada mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah dasar Manggarai.

Gunung Ranaka tinggi menjulang,
rimba belukar padang nan hijau membentang,
sawah dan ladang menguning nan emas,
di antara lembah ngarai dan sungai mengalir

Kenangkan selalu, ingatlah selalu,
setiap saat setiap waktu dan sepanjang masa,
buktikan cintamu nyatakan baktimu,
dengan membangun dan membina daerahmu Manggarai

Sayang lagu tersebut tidak diputar di kapal pemakai nama gunung yang pernah meletus pada 1987 tersebut. Bahkan lagu-lagu khas Flores macam “Gemu Fa Mi Re” pun tidak terdengar sepanjang perjalanan. Hanya lagu-lagu dari acara akademi dangdut dan musikal sinetron India idola ibu-ibu yang diputar stasiun televisi swasta negeri ini. Untunglah kru kapal sempat memutar film-film bagus dari FOX Movies, seperti Captain America (Winter Soldier), Transformers, dan film vampir.

Di antara dua buah televisi bikinan Korea Selatan yang menempel di dinding bar mini, hanya satu yang berfungsi. Televisi satunya ikut dinyalakan, tapi hanya menampilkan titik-titik hitam putih (kepyur).

Tapi hiburan audio-visual tersebut tidak diputar sepanjang waktu. Saat malam kian larut, televisi dimatikan. Suara-suara yang terdengar hanyalah deburan Laut Sawu, dengkuran orang tidur, hingga obrolan-obrolan penumpang yang main kartu remi di emperan geladak.

Cara saya menghibur diri adalah menuju musola di dalam kelas bisnis. Letaknya bersebelahan dengan toilet. Tak hanya solat, saya juga ngadem beberapa menit di dalamnya. Menikmati embusan pendingin udara secara gratis.

* * *

Sekitar pukul 3.00, saya terbangun. Mama Ale dan Tonde tak kembali ke tempat duduknya. Mungkin dia sudah pindah tempat semalam, mencari tempat tidur yang nyaman bagi anak keduanya itu. Saya tak sempat mencari dan bertemu lagi bahkan sampai tiba di Kalabahi.

Beberapa penumpang, termasuk saya, merapat ke pagar. Kami penasaran bagaimana rupa Alor kala subuh. Tapi hanya terlihat lampu-lampu permukiman yang jarang. Jaraknya renggang, bagaikan kunang-kunang yang menempel pada bukit gelap. “Ah, masih terang di Kupang!” celetuk salah satu penumpang.

Sejam kemudian, KMP Ranaka merapat dan benar-benar berhenti di salah satu dermaga Pelabuhan Kalabahi, Kecamatan Teluk Mutiara, Alor. Terdengar derit katrol kabel yang membuka pintu rampa di haluan kapal. Deru mesin kendaraan mulai dihidupkan dan bersahut-sahutan di geladak dasar, memecah keheningan pagi.

Satu per satu porter dan tukang ojek melompat ke geladak utama. Ojek, ojek? Ada saya bawa barang? Rutinitas ini tidak setiap hari ada, karena KMP Ranaka hanya berlayar dua kali sepekan untuk trayek Kupang-Kalabahi. Setiap Selasa dan Sabtu dari Kupang, lalu setiap Rabu dan Minggu dari arah sebaliknya. Ada juga kapal ro-ro tujuan Larantuka yang hanya satu kali jadwal dalam seminggu. Ditambah kapal Pelni yang tak sampai lebih dari dua kali dalam sebulan.

Setelah 15 jam di atas geladak KMP Ranaka, akhirnya kami menginjak daratan. Kami “turun gunung”.

‘Sudah turun? Nanti jalan ke luar pelabuhan, kami tunggu di SPBU’. Suara berat namun terdengar bersahabat di ujung gawai memberitahu titik pertemuan. Arman, suami Ella, yang akan menampung kami selama di Alor telah datang menjemput.

Saya serasa pulang dari perantauan yang jauh. Pulang ke rumah. (*)


Foto sampul: Pemandangan Laut Sawu di sore yang mendung

32 tanggapan untuk “Pulang Bersama Ranaka”

  1. 15 jam di atas kapal itu nyengin mas, dari nggak kenal dengan teman samping sampai akrab. Perjalanan nyaris sama lamanya dari Kalianget – Masalembo ahahahhaha

    Disukai oleh 1 orang

    1. Iya, Mas. Cuma kemarin memang gak terlalu sering keliling kapal, hahaha. Sok mben pengen nyoba Pelni ke timur hahaha

      Suka

  2. Yeah Rifqy is back
    Baca ini ku jadi ingin menulis pengalaman nyeberang Belitung Bangka juga.
    Tapi mesti gabisa serunut ini, karena sudah berlangsung berjuta tahun yang lampau :p

    Disukai oleh 1 orang

    1. Yeah, hahaha. Direkonstruksi, dibuat fiksi gapapa mbak hahaha.

      Suka

  3. Mantap! Perjalanan model begini yang bener-bener bakal “mengenyangkan” jiwa. Interaksi dengan penduduk lokal, juga merasakan transportasi massal, kenangannya bakal lebih berkesan. Nek jareku sih hehehe.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Iya mas, yang merakyat yang berkesan hahaha

      Suka

  4. Pulang kampung naik Pelni ke Timur masuk wish list saya saat lulus kuliah bertahun tahun lalu. Sayangnya saat itu ijin belum turun karena tak ada kawan.
    Wishlist itu masih saya simpan untuk ditunaikan suatu hari nanti

    Disukai oleh 1 orang

    1. Saya pun. Siapa tahu barengan hahahaha

      Suka

  5. Pengalaman yang menarik bang, sampai 15 jam di atas kapal.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Alhamdulillah mas, ketagihan hahaha

      Suka

  6. Yeaahh. Tulisanmu yang kurindu. Selalu seneng moco tulisan tulisanmu, Rif.
    Itu nek mau salat berarti boleh bebas keluar masuk ruang bisnis dong? Kalo gitu “nunggu” di musholla aja. Hahaha

    Disukai oleh 1 orang

    1. Weleh, maturnuwun, hehehe. Semoga isok rajin maneh hahaha. Iyaaa, bebas ke luar-masuk. Sakjane ngunu, tapi malah kademen hahaha

      Disukai oleh 1 orang

  7. Banyak yg rindu tulisannya mas rifky rupanya, saya pun 😀
    Pengalaman naik kapal Pelni dan lama pas nyebrang ke Karimunjawa tahun lalu. Karena mayoritas penumpang adalah wisatawan, aku malah tertarik obrolan dg seorang awak kapal yang harus berbulan-bulan berlayar tanpa pulang.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih atas semangat dan apresiasinya, Mas Jo. Waah obrolan menarik itu! Bisa jadi bahan tulisan feature yang dalem 🙂

      Suka

      1. Soalnya sedang jenuh membaca, apalagi menulis. Dan membaca ini seakan menyegarkan wkwkwk.

        Disukai oleh 1 orang

  8. Jadi referensi kalo ke indonesia timur

    Disukai oleh 1 orang

  9. Perjalanan yang sangat m3ngesankan ya .mas …inilah nilai plus menjadi traveler

    Disukai oleh 1 orang

  10. 15 jam, kurang suwee….coba sing 24 jam, hehehe

    Tulisanmu iki ciamik tenan, koyok moco petualangane mas garis batas 🙂

    Disukai oleh 1 orang

    1. Sakjane rencana awal malah pengen nge-Pelni Surabaya-Kalabahi mbak hahahaha. Kapan-kapan wae coba maneh.

      Walah mbak, sik acak adut wkwk

      Suka

  11. Ah Alor,, sudah 3x ke sana..

    Membaca cerita ini sekaligus membayangkan suasana kapal saat tahun depan explore indonesia timur 🙂

    -Traveler Paruh Waktu

    Disukai oleh 1 orang

    1. Widiih, tiga kali udah khatam nih hahaha. Ah, mau eksplor ya tahun depan? Ikuut hahaha.

      Suka

  12. Hendi Setiyanto Avatar
    Hendi Setiyanto

    kadang ngerasa orang2 di timur ini berada di luar indonesia, padahal mereka adalah bagian dari kita, suasananya terasa asing banget apalagi bagi saya yang tinggal di daerah pegunungan…

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hehe cobalah ke sana Mas, makin ke timur makin berasa Indonesianya

      Disukai oleh 1 orang

      1. aamiin mas…pengin bangettttt

        Suka

  13. Rupanya bukan hanya saya yang rindu akan tulisan-tulisan Mas Rifqy. Eh, sebagian juga karena saya sudah lama tidak bertandang kemari, hehe. Mohon maaf ya.
    Tiga kali Bali-Lombok? Saya antara penasaran dan sudah lelah duluan kalau memikirkannya. Tapi menurut saya berkumpul bersama dalam satu alat transportasi sesungguhnya ajang yang sangat bagus untuk mengamati manusia, hehe. Dirimu sudah mengeksekusinya dengan sangat baik. Saya jadi seolah-olah ada di atas kapal itu, hehe.
    Ngomong-ngomong, bagaimana ombaknya? Apakah lebih ganas dari Bali-Lombok atau Jawa-Bali, yang hanya sekadar “selat”?

    Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih, Mas. Ah saya juga jarang main ke mencarijejak ahaha, tak ada yang perlu dimaafkan.

      Iyap, itu asumsi normal Bali-Lombok 5 jam, ya tiga kali itulah Kupang-Kalababi hahaha. Ya betul, seperti naik kereta api.

      Alhamdulillah saat pelayaran tenang mas 🙂

      Suka

      1. Syukurlah kalau cuaca saat penyeberangannya baik-baik saja Mas, hehe.

        Suka

  14. Berkali2 suami ngajakin sesekali traveling naik kapal :D. Berkali2 jg aku masih nolak hahahaha.. Pdhl sbnrnya om ku nahkoda di salah satu kapal pelni, tp kok ya ttp blm siap kalo naik kapal :D. Ntahlah,… Aku kebanyakan baca yg “aneh2” ttg keadaan kapal kali yaaa :p

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hahahaha, bawa bekal yang banyak, biar urusan perug aman sepanjang pelayaran hahaha. Semoga segera kesampaian naik kapal 😀

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.