
Senyawa Alas Lali Jiwo: Terjala Gulita (4)
Jun dan Lidia terlihat berhenti di satu titik. Seruan dan lambaian tangannya menegaskan satu kepastian, bahwa tempat camp untuk kami telah ditentukan. Sudah ketemu. Inilah ujung penantian pendakian di hari pertama (29/05/2021).
Aku sampai alpa mengecek waktu dan mencatatnya dalam aplikasi pencatat di gawai kecilku. Saking lelahnya, karena fokusku ingin segera membeber dan mendirikan tenda.
Anggap saja sudah mendekati pukul sembilan malam. Kuingat-ingat saja, karena waktu berhenti di seonggok pohon besar sebelum Lembah Kidang 2, itu saja sudah nyaris pukul 20.30. Waktu aku, Aiman, dan Indra mengekor Satya dalam diam. Mengharap iba kepada Jun dan Lidia agar segera menemukan tempat berkemah.
Seluruh tenda, kecuali milik Bartian (kapasitas 1 orang), dibawa oleh kloter terdepan. Aku mengeluarkan tenda dome berkapasitas empat orang dari ransel. Begitu pun Aiman dan Jun yang bersiap membangun tenda yang sama-sama muat dua orang. Satu tenda dipinjam dari Cecep, kawan pendaki yang batal ikut—dialah kepala dapur sesungguhnya—lalu satu tenda lagi disewa dari tempat rental dekat rumah Jun di Gresik.
Tenda berwarna hijau dari Cecep tersebut akan diisi Satya dan Lidia. Kemudian tenda rental akan diisi si senior-junior, Jun dan Aiman. Dan tendaku, akan diisi oleh Indra, Eko, dan Aliko. Adapun Bartian akan memakai tendanya sendiri, yang memang hanya muat satu orang saja.
Kami berpacu dengan waktu. Hanya tersisa beberapa jam saja sebelum tengah malam. Kami berusaha menyiapkan segalanya, khususnya menu makan malam. Kami saling berbagi tugas memasak. Jun dan Lidia sudah mengisi air dalam jeriken portabel 10 liter. Harapannya makanan dan persediaan minum sudah siap ketika tiga orang terakhir, yaitu Bartian, Eko, dan Aliko tiba di tempat camp. Sementara Totok dan si Gipong tentu saja sudah membawa bekal dan peralatan sendiri.
Di antara keheningan sabana dan cemara-cemara gunung Lembah Kidang, kami masih menyibukkan diri. Sejak terakhir diisi sedikit air dan camilan setibanya di Pondokan puluhan menit lalu, perut sudah meronta minta diisi lagi. Aku jadi teringat makan malam yang terlambat kala di Ranu Kumbolo, sembilan tahun silam.
Read More