Halimun Terselak di Plawangan Sembalun

Plawangan Sembalun (2.639 mdpl), gigiran punggungan yang datar memanjang. Tempat camp terakhir sebelum puncak Gunung Rinjani.

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang lebih sedikit. Sudah 4 jam perjalanan dari Bawak Nao, desa tempat kami memulai trekking. Kami tiba di sebuah pos ekstra berupa gazebo sederhana beratap seng yang serba hijau. Pos peristirahatan di antara Pos II Tengengean dan mendekati Pos III Padabalong.

Beberapa meter setelah pos ekstra ini terdapat percabangan jalur. Ke kiri menuju Pos III dan Bukit Penderitaan. Sedangkan ke kanan menuju Bukit Penyesalan. “Bukit Penyesalan sudah ditutup,” ujar Muhammad, sembari menelunjuk ke arah Bukit Penyesalan. “Ada bukit yang longsor,” tambahnya.

Padahal saya sudah membayangkan akan melintasi tujuh bukit dengan tanjakan terjal yang tanpa putus. Yang katanya, bisa membuat pendaki menyesal. Menyesal karena, masih terlampau jauh untuk mencapai ujung, tapi sudah terlalu tinggi untuk turun.

Namanya juga mendaki gunung. Tak mungkin jika tak menanjak.

Kami kembali beristirahat saat tiba di Pos III setengah jam kemudian. Pos yang terletak di pinggir sungai aliran lahar yang kering. Tandanya sama, berupa gazebo beratap seng yang serba hijau.

Saya terduduk bersandar tas carrier di atas tanah. Sama seperti Anam, Pepy dan Teguh. Kami mengatur napas. Tanjakan yang berada persis di atas Pos III sepertinya sudah siap membuat lutut serasa terlepas.

* * *

Setelah 1,5 jam perjalanan dari basecamp Pak Saat di Senaru, sekitar pukul 9.00 WITA kami tiba di kantor Rinjani Information Centre (RIC), Taman Nasional Gunung Rinjani di Sembalun Lawang (1.156 mdpl). Desa yang berhawa sejuk, penuh dengan lahan sayur-sayuran yang segar menghampar. Komoditas sayuran yang dominan di sana antara lain wortel, kentang, buncis, kubis, bawang daun dan kembang kol.

Kami memang berencana naik lewat Sembalun, turun lewat Senaru. Mendaki selama 4 hari 3 malam. Proses perizinan pendakian di RIC tidak rumit. Cukup mengisi buku tamu berisi detail nama ketua dan anggota tim. Mengisi tanggal naik dan turun. Waktu itu, September 2013, kami hanya merogoh kocek sebesar Rp 2.500 per orang.

Setelah registrasi, kami kembali ke mobil pikap yang mengantar kami. Putar balik. Sopir mengantar kami ke desa Bawak Nao. Kami akan memulai pendakian dari sana. Kata sang sopir, rutenya bisa memangkas waktu sekitar 2 jam menuju Pos I. Normalnya, RIC ke Pos I berjarak sekitar 3 jam pendakian.

Tak sampai 15 menit, sopir menghentikan laju pikap di depan sebuah toko kelontong. Di desa Bawak Nao. Di toko ini kami mengecek ulang barang bawaan dan menambah perbekalan. Di toko ini kami bertemu Muhammad, porter yang akan kami sewa. Porter usulan sang sopir. Kami menyewanya untuk program 2 hari 1 malam. Tugas utamanya selain membawakan sebagian beban kami, juga menjaga tenda di Plawangan Sembalun esok pagi saat kami tinggal ke puncak. Dengan tarif Rp 150 ribu per hari, tentu tak termasuk tugas memasak makanan untuk kami. Menghemat biaya. Kami pun sepakat menanggung urusan masak sendiri.

Muhammad adalah lelaki paruh baya yang ceking dan agak legam. Perawakannya dipertegas dengan urat yang menonjol di lengan dan kakinya. Perlengkapan pendakiannya sederhana. Hanya kaos berkerah dan celana pendek sepaha. Sandal jepit lusuh menjadi alas kakinya. Melihat rupa sandalnya, seakan membuktikan lebih awet daripada sandal gunung bermerek ternama.

Dia tak bermodal tas carrier untuk membawa beban. Hanya dua jenis keranjang. Satu berupa keranjang dari rotan, satunya lagi berupa kotak kardus makanan ringan. Di keduanya, Muhammad membagi beban sebagian barang bawaan kami, utamanya tenda, sebagian matras dan sleeping bag. Kedua keranjang beban dihubungkan dengan sepotong bambu pipih. Setandan pisang susu yang dibawanya melengkapi bekal kami.

Muhammad siap, kami pun siap. Hari hendak memasuki waktu peralihan. Dari pagi ke siang. Tepat dua jam sebelum tengah hari, kami memulai pendakian.

* * *

Pendakian Gunung Rinjani Lombok
Langkah awal dari Desa Bawak Nao. Jauh di depan, separuh tubuh Gunung Rinjani tertutup awan.

Anam dan Pepy diminta berada di depan. Kemudian diikuti Muhammad, dengan memanggul dua keranjang yang bebannya melebihi tas kami. Di belakang Muhammad, saya dan Teguh berjalan membuntuti. Lalu tiga pendaki serombongan dari Jogja -kami bertemu di Stasiun Banyuwangi- berada paling belakang.

Kami saling mengekor, menyusuri gang sempit di seberang toko kelontong. Gang yang diapit dua rumah warga.

Di belakang pemukiman, terhampar ladang sayur yang luas. Kami berjalan di atas pematang sempit yang membelah ladang sayur. Cuaca kian terik. Namun langit biru yang tadi sempat terlihat di RIC, mulai tertutup awan. Di kejauhan, separuh tubuh Gunung Rinjani juga tertutup awan.

Saya mencoba berjalan santai. Muhammad terlihat berjalan dengan ritme yang stabil. Tapi lebih laju. Saya sadar akan sulit mengimbangi fisiknya. Persiapan fisik saya tidak terlalu maksimal sebelum berangkat ke Lombok.

Ladang sayur mulai berganti dengan hamparan padang rumput. Kami sempat menyeberangi sungai yang kering, lalu bertemu dengan padang rumput lagi. Bulan September merupakan puncak musim kemarau. Padang rumput menguning dan kering. Kesan gersang tanpa naungan pepohonan menambah teriknya siang.

Jalur pendakian awal dari Bawak Nao relatif ringan. Sesekali mendaki dan menurun dengan kemiringan ringan. Jalur ini nantinya akan menemui percabangan jalur dari Sembalun Lawang sebelum Pos I. Dengan keringat yang sudah mengucur deras, kami tiba di Pos I sekitar pukul 11.45.

Pos I di ketinggian sekitar 1.300 mdpl ini juga disebut pos pemantauan. Berupa area datar yang cukup lapang dengan sebuah gazebo hijau sederhana beratap seng. Tak hanya kami berdelapan yang ada di sana, tetapi juga rombongan pendaki lain. Sesosok bule asal Slovakia berkaos oranye menarik perhatian Muhammad. Saya dan yang lain juga ikut mendekat dan menyapanya.

“Sudah berapa kali naik Rinjani?” Tanya Muhammad dalam bahasa Indonesia. Dia tahu bule itu bisa berbahasa Indonesia.

“Empat kali,” jawabnya cukup fasih. Rupanya dia sudah lama tinggal di Bali. Lalu Muhammad menimpali dengan bangga, “Saya sebulan bisa lebih dari 10 kali naik Rinjani.”

Bule itu ikut ternganga dan mengacungkan jempol. Saya juga. Tak heran beban yang selalu ia bawa meninggalkan bekas menghitam di kedua pundaknya. Karena sudah biasa, tak terasa lagi sakitnya. Mati rasa. “Bagaimana lagi. Saya dan keluarga dapat makan dari sini,” timpalnya.

Pendakian Gunung Rinjani Lombok
Kontur jalur pendakian antara Pos II dan Pos III

Kami istirahat lebih lama di Pos II Tengengean (1.500 mdpl), yang berjarak tempuh sama dari Bawak Nao ke Pos I. Pos ini memiliki pertanda yang khas. Tak hanya gazebo hijau yang berada di cerukan lembah kecil dan diapit bukit. Terdapat sebuah jembatan yang cukup lebar merentang di atas sungai kering. Di pos inilah tersedia sumber air pertama di jalur Sembalun.

Pos II lebih ramai saat itu. Selain gerombolan kera, banyak rombongan pendaki bule sedang istirahat makan siang dengan menu racikan porter mereka. Sebagian duduk melingkar di atas terpal, sebagian duduk santai di atas pagar jembatan. Menunya cukup mewah dan menggoda lidah. Seporsi mangkuk besar berisi mi kuah segar dengan telur ayam di atasnya. Buah-buahan segar menjadi menu penutupnya.

Kami tak mau kalah. Di ujung jembatan, kami juga ikut membuka bekal makan siang: nasi bungkus racikan istrinya Pak Saat. Menunya nasi campur porsi jumbo. Sederhana, nikmat, mengenyangkan.

Energi kami kembali terkumpul. Dan makan siang sangat berdampak positif. Setidaknya untuk melahap tanjakan tak berujung di Bukit Penyesalan nantinya. Atau Bukit Penderitaan? Ah, namanya tidak terlalu penting.

* * *

Saya bangkit dari duduk. Berdiri membelakangi gazebo Pos III. Menghadap dan menatap nanar Bukit Penderitaan. Saya mendengus. Lalu mantap memulai langkah. Meninggalkan Pos III. Beranjak dari ketinggian sekitar 1.800 mdpl, menuju ketinggian sekitar 2.639 mdpl. Hampir satu kilometer vertikal.

Saya tak terburu nafsu mengejar teman-teman yang sudah berjalan duluan. Saya memilih menapak dengan jenjang langkah yang agak rapat. Perlahan-lahan. Naik sedikit demi sedikit. Semestinya keberadaan tongkat pendakian atau setidaknya sebatang kayu sangat membantu. Tapi saya belum menemukannya dari tadi.

Pendakian Gunung Rinjani Lombok
Bagian awal tanjakan Bukit Penderitaan menuju Plawangan Sembalun. Tampak di sisi kiri bekas kebakaran.

Lambat laun berjalan, pikiran saya terlempar ke bayangan Alas Lali Jiwo. Di Gunung Arjuno di Jawa Timur sana. Pendakian ke puncaknya juga mirip seperti ini. Menapaki tanjakan dengan sudut kemiringan yang mengurut engsel kaki dan lutut. Otot-otot sepanjang kedua kaki dibuat menegang.

Ketika di Arjuno memberi harapan palsu dengan bukit-bukit yang menipu sebelum puncaknya, begitu pun di sini. Merasa sudah cukup tinggi menanjak, setibanya di ujung salah satu bukit, kabut tersingkap. Membuka “tabir” di baliknya. Di depan kami, terhampar tanjakan bukit yang lebih tinggi dari sebelumnya. Karenanya, setiap menemui tanah datar, kami beristirahat agak lama.

Tapi setidaknya mendung yang mulai bergelayut siang itu harus disyukuri. Sinar matahari tak sampai menembus tanah. Tak sampai memapar kami. Teduh. Tentu tetap berkeringat, walau tak sederas berjalan di bawah terik yang menyengat.

Setelah dua jam lebih berjalan, hujan tiba-tiba turun. Tidak terlalu deras. Bulir hujan bercampur keringat yang melekat di tubuh. Angin berembus menyasak cemara gunung di bukit ini. Menyegarkan. Namun hujan juga membuat jalur yang semula berdebu, kini menjadi basah dan agak licin.

Kami mulai mengenakan jas hujan. Tapi, ancaman kedinginan rupanya tak ada dalam kamus Muhammad. Ia tetap melenggang santai dengan rokok tersulut di mulutnya. Jaket dan sarung yang memberikan kehangatan, ia simpan untuk tidur malam nanti.

* * *

Hujan berganti rintik gerimis. Tapi kabut masih belum menghilang. Vegetasi mulai agak terbuka. Pepohonan cemara gunung masih terlihat tapi agak berjarak.

Tanpa alas kaki, Muhammad tetap berjalan dengan gesit. Sepasang sandal jepitnya digantung di salah satu keranjang. Dengan cekatan, berjalan di atas jalan setapak yang basah dan cukup licin. Masih tetap menanjak.

Anam dan Pepy berada jauh di depan kami. Sudah tak kelihatan. Fisik mereka mampu mengimbangi Muhammad yang dengan cepat menyusul mereka. Saya dan Teguh menghentikan langkah. Sedikit mengatur napas sejenak.

Saya mendekati seorang porter rombongan lain yang duduk tak jauh kami. Ia juga sedang beristirahat. Merokok sejenak. “Pak, Plawangan Sembalun masih jauh?” tanya saya.

Sebelum menjawab, dia menoleh dan menelunjuk ke arah Plawangan Sembalun. “Tinggal dua bukit lagi, Mas. Yang di depan ini pendek lalu ketemu tanah datar,” jawabnya lalu menyedot rokok sesaat. Saya hanya mengangguk. Saat asap masih mengepul, dia buru-buru menambahkan, “Nah, trek setelahnya baru agak panjang sampai Plawangan, hehehe,” jawabnya terkekeh.

Saya menghentikan anggukan. Lalu bersama Teguh bergegas permisi dan melanjutkan langkah.

Tanjakan awal cukup pendek. Lalu bertemu tanah datar sempit. Kalau menurut penuturan porter tadi, mestinya tanjakan di depan kami adalah tanjakan terakhir. Tapi entah seberapa panjang.

* * *

Di tengah jalan, berjarak beberapa menit usai bertemu porter tadi, saya dan Teguh menjumpai seorang pendaki laki-laki yang sedang duduk membelakangi tanjakan. Berbalut jaket gunung berwarna biru laut, dia duduk bersandar carrier 60 liter berwarna merah. Pendaki asal Jakarta, masih SMA. Mendaki sendirian. Menanggung beban sendirian. Rambut hitamnya basah karena campuran air hujan dan keringat.

Napasnya ikut tersengal seperti kami. Raut wajahnya menyiratkan hal yang sama dengan apa yang kami rasakan. Benar kata si porter. Tanjakan yang terakhir ini memang panjang. Seolah sama-sama merasa senasib, kami bertiga kemudian berjalan bersama menuju Plawangan Sembalun.

Di tengah tertatihnya langkah, terdengar sayup-sayup suara orang. Semakin kami menanjak, suara itu semakin dekat. Kami sedikit mempercepat langkah.

Tanjakan demi tanjakan Bukit Penderitaan ini akhirnya berujung. Setelah 3,5 jam berjalan dari Pos III, akhirnya kami menginjakkan kaki di Plawangan Sembalun. Gigiran punggungan yang datar memanjang di ketinggian sekitar 2.639 mdpl. Setinggi shelter Kalimati di Gunung Semeru.

Sebelum mencari Anam dan Pepy, serta Muhammad, saya dan Teguh istirahat sebentar. Termasuk anak SMA dari Jakarta itu.

Saya meletakkan tas ke tanah. Pundak terasa enteng. Penderitaan serasa sirna. Saya mengecek kedua lutut. Syukurlah masih utuh.

Saya kemudian berdiri menghadap ke arah Sembalun. Halimun yang menemani selama mencumbui tanjakan-tanjakan Bukit Penderitaan, kini terselak di Plawangan Sembalun. Halimun bergeser ke bukit-bukit di bawah. Melayang tersebar.

Tersisa ruang cerah di antara selubung mega yang telah purna menurunkan hujan. Segaris jingga memberi batas di garis cakrawala. Perpisahan yang manis dari sang senja.  (*)

Pendakian Gunung Rinjani


Foto sampul:
Plawangan Sembalun (2.639 mdpl), gigiran punggungan yang datar memanjang. Tempat camp terakhir sebelum puncak Gunung Rinjani (ke arah kiri)

40 tanggapan untuk “Halimun Terselak di Plawangan Sembalun”

  1. Menarik diulas mengenai porter itu, mas. Siapa tahu mas bisa mengulas lebih dalam tentang pengalaman beliau. Bukan tentang profesinya, tapi ungkapan tentang Rinjani menurutnya 😀

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Sayang sekali saat itu beliau hanya kami sewa 2 hari 1 malam. Terbatas biaya kami. Secara umum, jelas Rinjani sudah berperan menghidupinya dan keluarganya 🙂

      Suka

  2. Begitulah, “nikmatnya” mendaki gunung menurutku hehehe. Salut buat pak Muhamad yang dengan peralatan, pakaian seadanya bisa kuat berkali-kali sampai ke puncak.

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Iya Mas, nagih hahaha. Orang-orang di kaki gunung tentu sudah terbiasa dengan keadaan yang apa-adanya, tapi tak ada tendensi meremehkan gunung 🙂

      Suka

  3. Aku nggak pernah mendaki gunung :’ dan kok rasanya jadi malu ya sama Pak Muhammad :’ beliau cuma bawa peralatan seadanya bisa kuat sampai ke Puncak :’

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Saya pun juga malu. Malu karena kesederhanaannya, malu karena semangatnya. Mereka yang sudah sedari lahir hidup di kaki Rinjani, tentu telah terbiasa. Tapi, sama sekali tidak ada tendensi meremehkan sang gunung 🙂

      Suka

  4. Rinjani. Salah satu impianku.
    Salut banget dengan Pak Muhammad. Hanya mmakai kaos dan celana pendek mndaki Rinjani. Ini benar-benar luar biasa hebatnya.

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Kehebatan yang sebenarnya terbentuk dari kebiasaan Mas. Hidup dan tumbuh di lereng Rinjani, membuatnya mengenal karakter gunung ini 🙂

      Suka

  5. view dari pegunungannya keren banget

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Indah ya Kak… 🙂

      Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Hehehe, namanya juga di gunung 😀

      Suka

  6. Semua nya serba dilema, mau pilih bukit penyesalan atau bukit penderitaan ??? aku ngak mau memilih, mau nya di gendong aja 🙂

    Suka

  7. Selalu suka dengan pilihan diksinya, Halimun Terselak. 🙂

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Maturnuwun Mas 🙂

      Suka

  8. baca perjuangan kalian,jadi berpikir ulang. cita-cita ku mendaki gunung rinjani kayaknya langsung pupus dech wkwkwk.. #niatngasich?

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Hahaha, tidak apa-apa Mbak, banyak jalan menuju Rinjani 🙂

      Suka

  9. Itu jalur nanjaknya mengingatkanku dengan jalur di Gunung Cikuray, Garut. Gunungnya nggak seberapa tinggi, nggak sampai 3.000 mdpl, tapi treknya dengkul ketemu lutut 🙂

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Waaah mirip-mirip di Gunung Penanggungan yang “cuma” 1.653 mdpl, tapi treknya bikin dengkul ketemu dagu 😀

      Suka

  10. Wah lihat artikel ini jadi pengen muncak lagi.
    Kangen pemandangan yang keren. dan semangat yang terus membara walaupun perjalanan masih jauh.

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Hehehe iya Mas, mendaki itu memang bikin ketagihan…

      Suka

  11. berat juga ya mas sampe make porter, saya belom pernah kesana nih, tapi kepengen hehe

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Sebenarnya porter kami sewa hanya untuk menjaga tenda kami yang ditinggal muncak supaya aman. Tapi mumpung berangkatnya bareng kan lumayan bagi beban ke porternya hehehehe

      Suka

  12. seru yuaa mas.. 😀
    sy belum pernah naik gunung, seringnya kalo main ya ke pantai atau curug2 gitu

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Main di mana pun punya kadar keseruan masing-masing kok hehehhe 🙂

      Suka

  13. duh pengen naek gununggg sekali aja seumur hidup.. Y_Y

    Suka

  14. Porter di Rinjani yang saya lihat rata-rata cuma pakai sandal jepit ya mas kalau treking? Berarti jalur setelah pos 3 itu ada 7 tanjakan ya…ampun2 jalur itu. Bener-bener penderitaan. 😀

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Iya rata-rata pake sandal jepit, atau setidaknya pake sepatu boot hehehe. Hmmm, kurang lebih segitu, pokoknya bikin PHP hahahaha 😀

      Suka

  15. sudah lama sekali saya tidak mendaki gunung mas, kadang pengen banget menaklukkan lawu merapi dan merbabu yang deket disini, tapi apa daya..udah beda keadaannya hehe

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Hahahaha, sebenarnya bisa kok Mas diupayakan kembali hehehehe 😉

      Suka

  16. Salam kenal, mas mau tanya yah. Saya kan anak cewek baru mulai kuliah belum pernah naik gunung atau kemping. Setiap kali pengen naik gunung itu keinginan saya terhalang dengan urusan yang sifatnya sangat pribadi, yaitu urusan buang air kecil dan BAB. Di pos/ shelter pendakian gunung itu ada toiletnya nggak mas, kalau gak ada terus urusan itu gimana yah? Sory pertanyaan sederhana, tapi bagi saya belum pernah naik gunung penting banget.

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Salam kenal Mbak, makasih sudah berkunjung kemari.

      Saya pun dulu juga menghadapi dilema semacam itu. Tidak semua jalur pendakian gunung menyediakan toilet di ketinggian. Di Semeru atau Rinjani ada beberapa bilik tapi menurut saya jauh dari kata layak. Kalau cara saya begini:

      Pertama buang jauh-jauh rasa jijik dan mulai membiasakan diri. Bawa perlengkapan pisau atau cetok kecil untuk menggali lubang di tanah hingga cukup dalam. Bawa air sebotol 1,5 liter atau jeriken, plus tisu basah untuk membilas. Lalu buang tisu basah di tas kresek yang disediakan khusus untuk tempat sampah/kotoran tisu, jangan sampai membuang tisu basah ke dalam lubang tanah, sehingga harus dibawa pulang/turun bersama sampah. Jika tidak berani sendirian, bisa ajak teman untuk berjaga. Usahakan BAB di tempat yang agak jauh dari jalur pendakian atau perkemahan, tapi masih terjangkau dan aman.

      Suka

  17. wah pak muhammad perlu diadu tuh sama Bear Grylls di Man vs Wild hahahaha

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Hehehe, bisa bisa 😀

      Suka

  18. Karna aku rapuh dan mudah lelah hati ini hahaha

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Hahaha 😀

      Suka

  19. kalau naik gunung, bawa diri aja udah susah, apalagi mesti gendong carrier …
    memang porter2 itu bikin takjub … perlengkapan dan baju seadanya, dan bawaannya segede gaban

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Saya biasa menyebutnya bakat alam, kekuatan fisik mereka adalah warisan seperti yang biasa terjadi di desa kaki gunung 🙂

      Suka

  20. Ajib bener porternya…

    *salahfokus..

    Btw, menaklukkan gunung rinjani adalah salah satu impianku *_*.. keren dah..

    Suka

    1. Rifqy Faiza Rahman Avatar
      Rifqy Faiza Rahman

      Iya Kak, porter fisiknya tak tertandingi. Wah, semoga segera kesampaian ya 🙂

      Suka

Tinggalkan Balasan ke alwib Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.