Dari Tidore untuk Indonesia: Meriung di Kaki Gunung (4)

Desa Gurabunga Tidore

Acara malam di Gurabunga (8/4/2017) itu termasuk rangkaian awal Festival Hari Jadi Tidore ke-909. Jadi, sebuah gelaran seni dan budaya. Namun, bukan hanya itu saja yang merebut daya pikat kami.

Ada dua tenda utama di tengah lapangan. Satu tenda menghadap timur. Ke arah panggung. Di bawahnya berderet rapi kursi-kursi plastik serta sofa untuk tamu kehormatan.

Satu tenda lainnya ada di sisi utara, dekat dengan pagar SD Negeri Gurabunga. Di sanalah bazar kuliner berada.

Sajian kuliner khas Gurabunga, Tidore
Sajian kuliner khas Gurabunga, Tidore

Di bawah tenda terhampar keanekaragaman makanan dan minuman. Berjejer rapi di atas meja-meja panjang. Setiap sajian di atas piring atau mangkuk, besar atau kecil, ditutup rapat dengan plastik. Ada tulisan nama makanan di atasnya. Bahkan sebagian ditulis lengkap resep bahan-bahannya.

Kami menyerbunya seketika setelah sambutan singkat Wali Kota Tidore Kepulauan, Capt. H. Ali Ibrahim. Kami seperti pengunjung mal yang nyaris gelap mata dengan diskon belanja besar-besaran.

Sesi makan malam sudah tiba. Saya mencoba mengeja dan membaca nama-nama di atas plastik yang membalut makanan. Hampir satu per satu saya lihat dan baca.

Sayur debukur (rebung), kasbi, daso ngan tutu igo (singkong rebus dicampur kelapa), sayur sibele (snibe), ganem bato (bunga melinjo), sambal kapaya (sayur pepaya), rica igo, dan gohu tim (mentimun).

Nasi Goreng Spesial Gurua Banga (Gurabunga)
Nasi Goreng Spesial Gurua Banga (Gurabunga)

Kemudian telagule, telagule gibi, nyao fufu, tekate, globe, sayur pucuk labu siam, gohu buikala makusi (pucuk honje), gohu dalwaho (sayur lilin), dabu-dabu (sambal) daun bawang, kupa gibi (ketupat santan), kolak labu kacang merah, hingga nasi goreng spesial gurabunga.

Yang jelas, saya tak mungkin melahap semuanya. Bahkan sekadar mencicipi seluruhnya, saya tak sanggup. Perut ini sudah cukup kenyang diisi makanan-makanan di Rum dan Safira.

Saya mengambil beberapa makanan yang paling menarik di antara yang menarik. Meski rasanya cukup aneh di lidah, tapi nyatanya perut menerima begitu saja. Udara dingin membuat mudah lapar.

Tak lupa kopi dabe. Kopi rempah, yang saya seruput sewaktu melihat pertunjukan musik dan tari tradisional. Menghangatkan tubuh, melegakan tenggorokan.

* * *

Sore itu, setibanya di Gurabunga, hawa sejuk menjalar. Saya langsung terkesan pada pandangan pertama terhadap desa ini.

Bunga-bunga tumbuh beraneka rupa dan warna. Rumah-rumah berderet rapi mengikuti kontur tanah. Kabut turun rendah di atas masjid dan musala desa, menyelubungi Gunung Marijang. Suasana yang membuat saya lupa sejenak akan ekstrimnya jalan menuju tempat ini.

Dari lapangan desa tempat kami turun dari mobil, terlihat geliat di atasnya. Orang-orang Gurabunga sibuk mendirikan tenda, menyiapkan kursi dan meja, merakit perangkat kelistrikan, hingga menata panggung. Tajuk acara “Lomba Tarian Daerah: Fashion Show, Peragaan Busana Daerah, Musik Tradisional” terpampang jelas dalam spanduk besar di atas panggung.

Salah satu rumah adat (rumah puji) sowohi di Gurabunga
Salah satu rumah adat (rumah puji) sowohi di Gurabunga

Sebelum petang menjelang, Anita Gathmir membawa kami ke sebuah rumah tradisional yang memiliki pekarangan luas. Tampilannya berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya. Dindingnya dari bambu dicat serba putih. Pondasinya dicat merah marun. Atap rumah utama dari rumbia, sedang bangunan di depannya beratap seng. Dengan bentuk pondasi dan dinding yang sama.

Di dalam, kami disambut pemilik rumah. Pria gempal berkaus kerah dan bercelana pendek selutut itu memperkenalkan diri, “Yunus.”

Yunus menjelaskan seluk-beluk rumah adat kepada Dwi Woro Retno Mastuti, dosen FIB Universitas Indonesia
Yunus menjelaskan seluk-beluk rumah adat kepada Dwi Woro Retno Mastuti, dosen FIB Universitas Indonesia

Ia adalah salah satu dari enam marga yang menjadi sowohi yang ada di Gurabunga. Sowohi berarti ketua adat, tugasnya sebagai pembantu spiritual di Kesultanan Tidore. Dan rumah yang kami pijak saat itu adalah ‘tempat kerjanya’.

Di dalam rumah yang beralas tanah itu, Yunus bercerita seluk-beluk perannya sebagai sowohi. Fungsi bagian-bagian dalam rumah. (Cerita lengkap tentang sowohi suatu saat akan saya tulis terpisah)

Jelang petang
Jelang petang

Puas mendapatkan informasi dan wawasan, kami kembali ke lapangan. Kabut masih menyelimuti gunung. Juga pucuk-pucuk kanopi hutan di perbukitan yang mengepung Gurabunga. Sementara cahaya petang keemasan menembus di balik kabut.

Azan magrib berkumandang dari corong suara masjid. Setelahnya, Gurabunga kian meriah. Orang-orang berdatangan. Baik dari dusun atau dari kota. Dari pesisir hingga lereng gunung.

* * *

Mencoba permainan bambu gila
Mencoba permainan bambu gila

Sebagian tamu berkerumun. Perhatian kami tersedot pada satu atraksi khas Tidore, dan Maluku secara umum.

Tujuh orang dewasa berdiri berdempetan. Kedua tangan masing-masing terangkat bagai memanjat doa. Jemari terkepal. Sebatang bambu hijau sepanjang tiga meter diangkut di antara lengan dan didekap erat.

Di samping mereka telah siap sang pawang. Berpakaian serba putih. Tangan kirinya memegang sabut tempurung kelapa berisi bara sesaji, yang sudah disulut korek api dengan tangan kanannya. Asap mulai membumbung tebal.

Sang pawang mendekati satu per satu pemeluk bambu dari ujung ke ujung. Mulutnya komat-kamit merapal mantra di atas sabut tempurung kelapa berisi bara sesaji. Ia mengibaskan asap dari ujung ke ujung bambu. Juga di sela-sela dekapan tangan para pemeluk.

Pawang bambu gila merapal mantra
Pawang bambu gila merapal mantra

Setelah hening beberapa saat, sang pawang berteriak, “Bara masuen!”

Para pemeluk bambu menjawab serentak, “Dadi gogo!”

Tiba-tiba bambu itu mulai bergerak. Para pemeluk bambu harus menahan beban bambu yang mengayun bagai gelombang ombak. Naik-turun, maju-mundur. Mereka pun ikut bergoyang, menari tanpa diminta. Saya seperti melihat para dewa mabuk bekerja sama.

Bara masuen! Dadi gogo! Bambu gila! Benar-benar jadi!

Teriakan-teriakan sang pawang dan pemeluk bambu kembali bersahutan. Para penonton yang merubung ikut menimpali dengan sorak dan gelak tawa.

Sebelum mereka, saya termasuk yang pertama ikut mencoba bersama enam teman lainnya. Yang saya rasakan, kedua lengan ngilu karena menahan goyangan bambu. Untung saya sudah makan. Kalau tidak, mungkin saya tak kuat menahan bambu yang ‘menggila’.

* * *

Anak-anak muda membawakan lagu 'Kabata Juanga'
Anak-anak muda membawakan lagu ‘Kabata Juanga’

Jou lamo e…
Jou lamo e…
Jou lamo e…

Potongan lagu ‘Kabata Juanga’ ciptaan Ali Hayatuddin itu masih terngiang sampai acara berakhir. Meski musik pengiringnya sederhana–tifa (gendang) dan tabaliku-tui (sejenis gambang dari bambu)–lagu itu dibawakan sekelompok anak muda dengan penuh penghayatan dan menyayat hati.

Tari Salaimarong
Tari Salaimarong

Juga tari Salaimarong yang dibawakan begitu kompak. Rasanya beraneka suguhan di Gurabunga pada malam itu merekatkan kami. Mulai dari kuliner hingga seni budayanya. Di kaki Gunung Marijang yang berselubung kabut, kami meriung bersama.

Kemeriahan yang menghangat di tengah udara dingin ditutup diskusi kecil di panggung. membicarakan masa depan pariwisata Tidore. Beragam usul, saran, dan kritik keluar dari lisan peserta diskusi. Tentu tak hanya serius, karena gelak tawa juga sesekali menyela. Semua demi kebaikan pariwisata Tidore ke depan, dalam jangka pendek maupun panjang.

Sementara malam kian larut. Udara mendingin. Kami bergegas turun gunung. Segera istirahat cukup untuk agenda keesokan harinya.

(Bersambung)


Foto sampul:
Masjid dan musala di Desa Gurabunga, Tidore

Lomba menulis blog dan kegiatan selama di Tidore,
terselenggara atas peran Ngofa Tidore
beserta pihak-pihak sponsor terkait: Lomba Menulis Blog 

4 tanggapan untuk “Dari Tidore untuk Indonesia: Meriung di Kaki Gunung (4)”

  1. Waah. Bambu gila. Asli penasaran pengen main 😀

    Disukai oleh 1 orang

    1. Ndang budal Maluku hahaha

      Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.